Kapal Usang untuk TNI AL?

 Kapal Usang untuk TNI AL?

Foto: Istimewa

HAIMEDIA.ID, Jakarta – Setelah tenggelamnya KRI Nanggala, Kementerian Pertahanan berencana “memodernisasi” alutsista TNI. Tersiar kabar, Menhan Prabowo Subianto telah menandatangani kontrak pembelian 8 kapal fregat Maestrale class. 

Kapal Frigat kelas Maestrale ini dibuat pada 8 Maret 1978 di galangan kapal Riva Trigoso, Genoa Italia. Mari kita ukur apakah kapal ini layak untuk dipakai oleh TNI AL.

Ada empat ukuran yang dipakai untuk mengukur kelayakan kapal untuk TNI AL. Keempat ukuran itu yakni kemampuan mengapung, kemampuan berlayar dan kemampuan bertempur.

  1. Kemampuan mengapung

Kemampuan mengapung merupakan persyaratan utama untuk sebuah kapal. Oleh karena kapal itu dibuat pada tahun 1978, artinya kapal itu sudah berumur 43 tahun. Dari pengalaman saya, untuk kapal yang sudah berumur 43 tahun maka badan kapal sudah banyak yang menipis dan keropos. Demikian pula dengan gading-gading badan kapal sudah banyak mengalami deformasi dan juga keropos. 

Walaupun badan kapal banyak dilakukan penggantian plat, tapi untuk gading-gading kapal tidak mungkin untuk diperbaharui. Dengan demekian kemampuan apung untuk kapal yang sudah berumur 43 tahun sudah sangat rawan. 

Dikhawatirkan untuk menahan ombak laut ZEE saja badan kapal dan gading-gading sudah tidak kuat lagi sehingga dapat mengakibatkan kebocoran bila dihantam ombak. 

Sebagai contoh, pada tahun 2017, KRI Sibarau mengalami kebocoran dan tenggelam ketika berlayar di Selat Malaka. KRI Sibarau ini dibangun di Australia pada tahun 1968. Ketika tenggelam telah berusia 49 tahun. 

  1. Kemampuan berlayar

Kemampuan berlayar sebuah kapal ditentukan oleh mesin pendorong utama yang memutar propeller kapal, mesin listrik yang menghasilkan listrik kapal, serta peralatan mesin bantu seperti pompa-pompa. 

Dari pengalaman saya, untuk mesin yang sudah berumur 43 tahun, sudah tidak mungkin untuk dioperasikan dalam waktu yang lama. Suku cadang ada yang sudah tidak diproduksi lagi. Bahkan material mesin yang sudah mengalami kelelahan bisa saja meledak, lalu terbakar dan tenggelam. 

Sebagai contoh, pada tahun 2018, KRI Rencong yang sedang berlayar di perairan Sorong, mesinnya meledak, yang mengakibatkan kapal itu terbakar dan tenggelam. 

KRI Rencong ini dibangun di Korea pada tahun 1979. Ketika mesinnya terbakar dan tenggelam KRI Rencong berusia 39 tahun. 

  1. Kemampuan bertempur

Kemampuan bertempur sebuah kapal perang sangat ditentukan oleh persenjataan di atas kapal itu. Oleh karena Fregat ini jenis lama maka badan kapalnya belum menggunakan teknologi SIGMA seperti kapal-kapal modern saat ini. Jadi tidak dapat membiaskan gelombang elektromagnetik radar lawan. 

Akibatnya sangat mudah terdeteksi oleh lawan. Rudal Anti Udara Sea Sparrow jaraknya cuma 20-an kilometer. Kalah jauh bila dibandingkan dengan Rudal Mika di KRI Marta dan KRI Ngu PKR kita yang baru dimana jaraknya 40 km. 

Torpedo Anti Kapal Selamnya (AKS) masih menggunakan Tabung MK 32, sehingga Torpedo yang digunakan masih jenis TPO A 244. Masih kalah jauh dengan torpedo yang ada di TNI AL saat ini yaitu Torpedo Black Shark. 

Meriam utamanya, cal 127 mm sudah tidak ada satupun dipakai kapal perang di dunia saat ini. Sudah usang, mungkin pelurunya pun sudah sulit untuk didapat. Kalau terjadi kerusakan, misalnya laras meriam bengkok karena panas, maka sulit untuk mendapatkan gantinya. 

  1. Biaya operasi

Untuk kapal-kapal jenis Fregat yang sudah uzur, dalam satu jam berlayar diperlukan paling sedikit 1500 liter solar. Dalam 1 hari = 24 jam = 1500 X 24 = 36.000 liter solar. 

Dengan pola operasi dalam satu bulan 2/3:1/3 yaitu 2/3 bulan berlayar dan 1/3 bulan bersandar di dermaga. Maka 2/3 bulan = 20 hari berlayar akan membutuhkan 36.000 x 20 = 720.000 liter solar. 

Kalau satu liter solar harganya Rp5.000, maka untuk berlayar selama 20 hari dibutuhkan 720.000 x Rp5.000 = Rp3.600.000.000. Itu baru bahan bakar saja. Untuk minyak pelumas, penggunaannya biasanya 5 persen dari penggunaan bahan bakar yaitu 720.000 x 5 persen = 36.000 liter minyak lumas. 

Bila harga satu liter minyak pelumas Rp10.000, maka untuk minyak pelumas dibutuhkan 36.000 x Rp10.000 = Rp360.000.000. Sehingga total anggaran yang diperlukan untuk 20 hari berlayar untuk mesin saja minimum Rp3.600.000.000 + 360.000.000 = RP 3.960.000.000. 

Kalau dalam sekali operasi 3 bulan ada 60 hari berlayar, maka dibutuhkan 60 x 3.960.000.000 = Rp 237.600.000.000. Sedangkan untuk kapal bersandar di dermaga 10 persen dari penggunaan saat berlayar yaitu sebesar Rp23.760.000.000 sehingga total biaya untuk bahan bakar dan minyak pelumas untuk 3 bulan operasi dibutuhkan Rp237.600.000.000 + Rp23.760.000.000 = Rp261.360.000.000 hanya utk bahan bakar dan minyak pelumas saja. 

Jadi kalau satu tahun = 4 x 261.360. 000.000 = Rp1.045.440.000.000 (satu triliun lebih). Belum lagi filter-filter bahan bakar, filter minyak pelumas yang sudah pasti harganya akan sangat mahal, karena digunakan pada mesin yang suda uzur. 

Dapat terihat betapa borosnya penggunaan anggaran bila kita menggunakan kapal-kapal yang sudah uzur. Inipun saya hitung dengan ukuran penggunaan bahan bakar yang paling hemat. 

Saya pernah bertugas di kapal yang penggunaan bahan bakarnya sampai 5000 liter. Belum lagi biaya untuk pembelian cat, alat pembersih dan lainnya. 

Dari keempat ukuran itu itu sangat terlihat bahwa kapal Frigat kelas Maestrale ini tidak pantas untuk disebut sebagai “modernisasi”. Karena mengingat usianya yang sudah uzur, 43 tahun sudah tidak layak untuk dikategorikan sebagai upaya untuk “modernisasi” alat peralatan hankam. Kapal yang akan dibeli ini sudah usur, tinggal tunggu tenggelamnya aja. 

Apa yang diharapkan dengan kapal yang sudah tua kalau tidak mau disebut “bangkotan” seperti ini? Daya gentar? Non sense. Kena ombak di ZEE pun kapal ini sudah tidak akan mampu. KRI Nanggala yang tenggelam itu buatan tahun 1979, lalu sekarang mau beli yang tahun 1978. 

Untuk pengoperasiannya pun membutuhkan anggaran yang sangat besar, minimal untuk satu tahun Rp1 triliun lebih.

Ada yang mengatakan akan diretrovit. Dari pengalaman yang ada, retrovit itu mubazir. Yang dapat diretrovit itu hanya sistem senjata secara terbatas. Tapi tidak mungkin untuk melakukan retrovit untuk meningkatkan kemampuan mengapung dan kemampuan berlayar. 

Sehebat apapun sistem senjata yang terpasang, tanpa kemampuan mengapung dan kemampuan berlayar yang memadai tidak akan ada manfaatnya. 

Dengan mesin yang sudah berusia 43 tahun dapat dipastikan akan banyak sekali permasalahan. Suku cadang sudah banyak yang tidak diproduksi lagi. Sehingga sangat mungkin kapal itu nantinya akan lebih banyak waktunya terikat di dermaga daripada berlayar mengawal samudra. 

Untuk hidup 12 jam terus menerus aja sudah syukur. Jadi untuk patroli pun kapal ini sudah pasti tidak bisa diharapkan. Hal ini sudah terjadi dengan kapal-kapal yang ada di TNI AL saat ini. Kapal-kapal TNI AL yang dibuat pada tahun 1978-1980-an sudah banyak yang nongkrong terikat di dermaga tidak bisa berlayar lagi karena kekurangan suku cadang. 

Melihat dari besarnya anggaran minimal yang dibutuhkan untuk melayarkan kapal itu yaitu sebesar Rp1.045.440.000.000 dalam setahun, sangat mungkin kedatangan kapal Fregat Kapal Frigat kelas Maestrale, akan semakin menambah banyaknya kapal yang terikat di dermaga.

Sungguh malang TNI AL-ku, bila di-“modernisasi”kan dengan kapal-kapal yang telah “tua bangkotan”. Mungkin hanya di Indonesia ada “modernisasi” dengan kapal-kapal yang sudah uzur. 
 
Laksamana Muda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto, ST, MH.
Kepala Badan Intelijen Strategis, 2011-2013

Related post